Beranda | Artikel
Kesalahan Memahami Makna Laa Ilaaha Illallah
Minggu, 27 Maret 2016

Kalimat Laa Ilaaha Ilallah pasti tidak asing ditelinga kita. Tapi tahukah Anda makna Laa Ilaaha Illallah yang sebenarnya?

Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah berkata, “Tidak ada kebaikan bagi seseorang, yang mana orang kafir jahiliyyah lebih berilmu daripada dirinya tentang makna Laa ilaaha illallah“ (Kasyfu Syubuhaaat). Sungguh kaum muslimin telah menghafal dan sering membaca kalimat Laa ilaaha illallah dengan lisan-lisan mereka. Namun demikian tidak sedikit yang belum mengetahui maknanya secara benar, padahal kaum musyrikin jahiliiyyah memahami makna kalimat ini.

Kalimat tauhid adalah kalimat yang sangat agung, kalimat yang juga membedakan antara muslim dan kafir. Seorang muslim harus memahami makna kalimat ini dengan benar. Kesalahan dalam memahami kalimat ini bisa menjadi pintu pembuka terjerumus ke dalam berbagai perbuatan syirik yang membatalkan tauhid. Semoga tulisan ringkas ini bisa memberikan pemahaman bagi kita tentang makna kalimat tauhid yang benar.

Makna Laa Ilaaha Illallah yang Benar

Makna Laa ilaaha illallah [ لآإِلَهَ إِلاَّ الله ] yang benar adalah [ لآ معبود حق إِلاَّ اللهُ ] ) ( Laa ma’buuda bi haqqin illallah ), artinya tidak ada sesembahan yang benar dan berhak untuk disembah kecuali hanya Allah saja. Semua sesembahan yang disembah oleh manusia berupa malaikat, jin, matahari, bulan, bintang, kuburan, berhala, dan sesembahan lainnya dalah sesembahan yang batil, tidak bisa memberikan manfaat dan tidak pula bisa menolak bahaya.

Pada kalimat [ لآإِلَهَ إِلاَّ الله ] terdapat empat kata yaitu:

  1. Kata Laa ( لآُ) berarti menafikan, yakni meniadakan semua jenis sesembahan.

  2. Kata ilaah ( إِلَهَ) berarti sesuatu yang disembah.

  3. Kata illa (إِلاَّ ) berarti pengecualian.

  4. Kata Allah (الله ) maksudnya bahwa Allah adalah ilaah/sesembahan yang benar.

Dengan demikian makna [لآإِلَهَ إِلاَّ الله ] adalah menafikan segala sesembahan selain Allah dan hanya menetapkan Allah saja sebagai sesembahan yang benar.[1]

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala :

ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَايَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al Hajj: 62).

Allah juga berfirman :

وَلاَ تَدْعُ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَنفَعُكَ وَلاَ يَضُرُّكَ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذاً مِّنَ الظَّالِمِينَ

Dan janganlah kamu menyembah sesuatu yang tidak bisa memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah. sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zalim“. (Yunus : 106)

Dalam kalimat syahadat لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ terdapat dua rukun, yaitu nafi (peniadaan) dan itsbat (penetapan).

  1. Rukun pertama terdapat pada kalimat لآإِلَهَ. Maksudnya adalah membatalkan seluruh sesembahan selain Allah dalam segala jenisnya dan wajib kufur terhadapnya.

  2. Rukun kedua terdapat pada kalimat إِلاَّ اللهُ . Maksudnya menetapkan bahwa hanya Allah saja satu-satunya yang berhak untuk disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam peribadatan.

Dalilnya adalah firman Allah:

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ

Barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.“ (Al Baqarah: 256)

Pada penggalan ayat (فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ) merupakan rukun yang pertama yaitu لآإِلَهَ , sedangkan pada kalimat (وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ) merupakan rukun yang kedua yaitu إِلاَّ اللهُ.

Allah Ta’ala juga berfirman :

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ

Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut ” (An Nahl : 36).[2]

Kesalahan Memaknai Kalimat [ لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ ]

Masih banyak yang keliru dalam memahami makna kalimat tauhid. Terdapat beberapa makna yang batil dan tertolak dalam memaknai لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ , di antaranya adalah:

(1). Memaknai dengan لآمعبود إِلاَّ اللهُ (tidak ada sesembahan kecuali Allah).

Pemaknaan seperti ini salah, karena konsekuensi dari makna ini berarti setiap sesembahan baik yang disembah dengan cara yang benar maupun cara yang batil adalah Allah. Hal ini juga bertentangan dengan realita yang ada, karena dapat kita saksikan bahwa sesembahan selain Allah sangat banyak ragamnya. Ada manusia yang menyembah jin, malaikat, matahari, bintang, batu, berhala, pohon, dan lain sebagainya. Konsekuensi dari pemaknaan seperti ini berarti segala sesembahan yang ada tersebut adalah Allah?! Ini jelas suatu pemaknaan yang batil.

(2). Memaknai dengan لآخالق إِلاَّ اللهُ (tidak ada pencipta selain Allah).

Pemaknaan seperti ini juga salah. Pemaknaan seperti ini hanya merupakan sebagian saja dari makna kalimat لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ. Namun bukan ini yang dimaksud, karena makna ini hanya menetapkan tauhid rububiyyah saja. Hanya sekedar pengakuan rububiyyah saja tidak cukup, bahkan ini juga merupakan keyakinan musyrikin jahiliyyah. Allah Ta’ala berfirman :

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)? “(Az Zukhruf : 87)

Keyakinan kaum musyrikin tentang rububiyyah Allah tidak memasukkan mereka sebagai muslim dan tetap diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi sekadar memaknai rububiyyah Allah saja tidaklah cukup dan ini merupakan kesalahan.

(3). Memaknai dengan لآحاكميةَ إِلاَّ اللهُ (tidak ada yang menetapkan hukum selain Allah).

Pemaknaan seperti ini juga salah, karena hanya merupakan sebagian saja dari makna لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ. Pengakuan seperti ini saja tidak cukup dan bukan ini maksud لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ. Seandainya mengesakan Allah dalam hakimiyyah (penetapan hukum) namun masih menyembah selain Allah maka belum dikatakan bertauhid.[3]

Dampak Kesalahan Memaknai لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ

Seseorang harus memahami makna kalimat لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan benar. Kesalahan dalam memahami makna kalimat ini dapat mengantarkan seseorang terjerumus dalam beragam perbuatan syirik. Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidzahullah menjelaskan, “ Apa yang mereka katakan tentang makna kalimat Laa ilaaha ilallah dengan makna rububiyyah saja akan menyebabkan terbukanya pintu-pintu kesyirikan di tengah kaum muslimin. Kaum muslimin akan menyangka bahwa bahwa tauhid hanyalah sekadar mentauhidkan Allah dalam perkara rububiyyah saja. Jika seseorang sudah meyakini bahwa pengatur segala sesuatu adalah Allah saja maka sudah dianggap bertauhid. Demikian pula jika ada yang meyakini bahwa Zat yang tidak membutuhkan sesuatu dan segala sesutau membutuhkan kepad Zat tersebut adalah Allah, maka sudah dianggap bertauhid. Keyakinan seperti ini jelas merupakan kebatilan. Kalau hanya sekadar rububiyyah, kaum musyrikin dahulu juga memahami dan meyakini rububiyyah, sebagaimana Allah terangkan dalam Al Qur’an :

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar) ” (Al Ankabut : 61)

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيزُ الْعَلِيمُ

Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab: “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui “. (Az Zukhruf : 9).

قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ والأَبْصَارَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيَّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللّهُ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ

Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” ( Yunus : 31).[4]

Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa kaum musyrikin dahulu tidak mengingkari makna rububiyyah.

Kita bisa amati masih banyak praktek kesyirikan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin seperti berdoa, menyembelih, dan memberika sesaji kepada selain Allah. Mereka beranggapan sudah bertauhid kepada Allah dengan cukup meyakini rububiyyah Allah, meskipun mereka menujukan sebagian ibadah mereka kepada selain Allah. Ini terjadi karena mereka tidak memahami makna tauhid dengan benar.

Demikianlah penjelasan yang ringkas tentang makna لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ yang benar dan beberapa kesalahan dalam memaknainya. Semoga menambah ilmu dan iman kita. Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad.

Baca Juga: Makna Tauhid

Catatan Kaki

[1] Lihat pembahasan selengkapnya dalam At-Tamhiid li Syarhi Kitabi At Tauhiid 72-78

[2] Lihat At Tauhid Al Muyassar hal 14

[3] Lihat At-Tauhid Al-Muyassar 13-15 dan Aqidatu At-Tauhid 39-42

[4] Lihat At-Tamhiid li Syarhi Kitabi At Tauhiid 86-87

Penulis: dr. Adika Mianoki

Artikel Muslim.or.id


Artikel asli: https://muslim.or.id/27745-kesalahan-memahami-makna-laa-ilaaha-ilallah.html